Breaking

Thursday 15 June 2017

Pondok Pesantren Krapyak, DI Yogyakarta

Mercusuar Islam di Yogyakarta

Musholla Sebelum Gempa

Nama Krapyak sebagai kampung terdapat di hampir semua kota, khususnya di Pulau Jawa. Di Yogyakarta, kampung Krapyak juga berada di beberapa tempat, yakni di Kabupaten Sleman dan di Kabupaten Bantul.
Pondok Pesantren Krapyak yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah Pondok Pesantren Krapyak yang didirikan oleh KH Mohammad Munawir, terletak sekitar 7 km di sebelah utara dari pusat kota Kabupaten Bantul. Tepatnya, di perbatasan Kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta, sekitar 2 km di sebelah selatan Kraton, Yogyakarta.

Latar Belakang Berdirinya Pesantren   
Pesantren Krapyak didirikan oleh KH. M. Moenawwir pada tahun 1909 M. setelah beliau kembali dari belajar di Makkah dan Madinah selama 21 tahun. sepulang menimba ilmu di Makkah, beliau menetap di Kauman, Yogyakarta, di rumah orang tuanya yang bernama KH. Abdullah Rasyad, salah seorang abdi dalem Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat di bidang spiritual. Kurang lebih satu tahun KH. M. Moenawwir membuka pengajian kitab –khususnya Al-Qur’an- di rumah orang tuanya yang tak begitu besar. Pengajian Al-Qur’an menjadi konsentrasi sesuai dengan disiplin ilmu KH. M. Moenawwir yang selama bertahun-tahun di tanah suci mendalami Ulum al-Qur’an. Namun demikian tidak berarti beliau meninggalkan kitab-kitab lain.
Di Kauman, KH. M. Moenawwir menghadapi problem sempitnya tempat pengajian hingga suatu saat datang KH. Sa’id, seorang ulama dari Gedongan, Cirebon yang kagum dengan kedalaman ilmu KH. M. Moenawwir. Beliau (KH. Sa’id) memberi saran kepada KH. M. Moenawwir untuk mencari tempat di luar benteng Kraton, di samping karena kampung Kauman yang sempit dan bising.
Setelah mempertimbangkan secara cermat dan berniat sungguh-sungguh untuk pindah, akhirnya KH. M. Moenawwir menemukan sebuah tempat yang dinilai strategis untuk mendirikan pesantren, yaitu Krapyak (tanah milik Bapak Jopanggung). Kawasan ini begitu lebat dengan pepohonan, terletak satu setengah kilo meter di selatan Plengkung Gading (pintu gerbang masuk Kraton). Tanah itu, dibeli dengan uang amal Haji Ali dari Graksan, Cirebon atas saran KH. Sa’id.
Hingga akhir tahun 1909 M, KH. M. Moenawwir merintis berdirinya Pondok Pesantren yang kemudian dikenal dengan Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Sebagai pembangunan tahap awal adalah rumah beliau sendiri dan langgar yang bersambung dengan kamar santri, serta sebagian komplek pesantren. Kemudian pada tahun 1910 pesantren ini mulai ditempati oleh santri yang hendak belajar mempelajari Al-Qur’an dan beliau sendiri sebagai pengasuhnya. Namun demikian, sebelum benar-benar pindah ke Krapyak, terlebih dahulu beliau bertempat tinggal untuk sementara di Gading, dalam rangka membantu kakak beliau K.H. Mudzakir, yakni membantu mengajar pengajian Al Qur’an dan Ilmu Syariah.
Keadaan santri dari tahun ke tahun pada masa itu menunjukkan angka yang cenderung bertambah. Selain dari Yogyakarta, banyak juga santri yang berdatangan dari daerah Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta, luar Jawa dan daerah Jawa Tengah lain tentunya.
Pasca Renovasi

Pendidikan dan Pengajaran
Pendidikan dan pengajaran pada masa KH. M. Moenawwir lebih menekankan pada bidang Al- Qur’an baik bi al-Ghaib maupun bi an-Nadzar. Hal ini sesuai dengan keahlian beliau yang mumpuni di bidang ini. Dalam pengajarannya, KH. M. Moenawwir memakai metode Musyafahah, yaitu santri membaca Al Qur’an satu persatu di hadapan beliau, dan jika terjadi kesalahan membaca, beliau langsung membenarkannya, kemudian santri langsung mengikuti. Bagi santri yang hafal Al Qur’an bil ghaib dan Qira’ah Sab’ah, beliau memberinya sanad Al-Qur’an yang mutawatir.
Selain pengajian pokok (pengajian Al-Qur’an), pada masa KH. M. Moenawwir ini juga telah diselenggarakan pengajian kitab kuning sebagai materi penyempurna. Di antara kitab-kitab yang dikaji meliputi kitab fiqih, tafsir, hadis dan lain-lain. adapun guru-gurunya selain beliau sendiri dan para santri yang sebelumnya pernah mondok (alumni) di Pesantren lain seperti Pesantren Tremas, Lirboyo, Tebuireng, Purworejo, dan lain-lain. Materi tambahan (pengajian kitab-kitab) ini tampak menonjol pada waktu disampaikan oleh KH. M. Arwani Amin (Alumni Kudus) pada tahun 1935. Pengajian yang diselenggarakan di pesantren ini, baik Al-Qur’an maupun kitan kuning terus berjalan lancar tanpa hambatan hingga beliau (KH. M. Moenawwir) wafat pada 11 Jumadil Akhir 1360 H/06 Juli 1942 M.
Dalam khidmahnya, KH. M. Moenawwir berhasil membentuk kader bagi ahli-ahli Al-Qur’an di berbagai daerah. Mereka antara lain, KH. Umar Magkuyudan Solo, KH. Arwani Kudus, KH. Umar Cirebon, KH. Muntaha Wonosobo, KH. Murtadlo Cirebon, KH. Yusuf Agus Indramayu, KH. Aminuddin Bumiayu, KH. Zuhdi Kertosono, KH. Abu Amar Kroya, KH. Hasan Thalabi Kulonprogo, KH. Dimyathi Bumiayu, KH. Fathoni Brebes, KH. Basyir Kauman Yogya, dsb. Setelah pulang dari Krapyak, umumnya mereka mendirikan pesantren Tahfidh al-Qur’an dan menjadi ahli-ahli dalam bidang Ulum al-Qur’an.

Ujian di Masa Politik Jepang
Pada masa pendudukan Jepang, pesantren Krapyak mengalami cobaan sangat berat. Kevakuman terjadi karena hampir 2 tahun santri-santri dipulang-kampungkan akibat politik Jepang yang menyebabkan bangsa Indonesia mengalami krisis pangan. Apalagi pesantren Krapyak juga masih berkabung dengan wafatnya KH. M. Moenawwir, sementara putera puteri almarhum masih terlalu muda untuk diberi tanggung jawab mengelola pesantren.
Akhirnya pihak keluarga memutuskan untuk memboyong Kiai Ali (menantu KH. M. Moenawwir yang dinikahkan dengan Nyai Hasyimah) dari pesantren “Al-Hidayat” Lasem yang sedang dibenahi karena juga menghadapi problem akibat politik Jepang. Setelah tiga kali diminta keluarga Krapyak, meskipun dengan berat hati KH Ali menerima ajakan itu. Demikain juga KH MA’shum (ayahanda KH Ali) dan semua keluarga Lasem akhirnya merelakan kiai Ali untuk diboyong ke Krapyaka.
Di Krapyak, Kiai Ali langsung mengambil langkah strategis, yaitu menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas sebagai upaya mencetak kader, sebelum mencetak santri-santri lainnya. Kiai Ali-pun menggembleng secara maraton terhadapa para putra dan cucu serta menantu almarhum KH. M. Moenawwir. Mereka adalah Abdul Qadir, Mufid Mas’ud, Nawawi Abd Aziz, Dalhar, Zainal Abidin, Abdullah Affandi, Ahmad dan Warson. Beberapa orang tetangga yang diikutkan adalah Wardan Joned (Kauman), Zuhdi Dahlan dan Abdul Hamid. Selama 2 tahun (1943-1944), Kiai Ali memperketat system pengajaran kepada mereka hingga akhirnya mereka menjadi para kiai yang secara bersama-sama membesarkan pesantren Krapyak. Beriringan dengan itu, pesantren Krapyak dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren Al-Munawwir, diambilkan dari nama Alm. KH. M. Moenawwir.
Sejak Kiai Ali memimpin, keseimbangan antara pengajian Al-Qur’an dengan pengajian kitab-kitab (kuning) juga selalu jadi perhatian, hal ini menyebabkan dominasi pengajian Al-Qur’an mendapat partner. Kiai Ali sendiri lebih senang memberikan pengajian kitab-kitab kuning baik secara ‘bandongan’ maupun ‘sorogan’. Hal yang sama juga dilakukan oleh putra beliau KH. Atabik Ali serta menantu beliau KH. Moh. Hasbullah. Demikian juga putra-putra alm. KH. M. Moenawwir yang lain juga mengajar kitab-kitab kuning seperti KH. Zainal Abidin, KH. A. Warson dan KH. Dalhar. Sementara pengajian Al-Qur’an ditangani oleh KH. Ahmad, KH. Zaini, KH. Najib Abdul Qadir, KH. Hafid Abdul Qadir serta putri-putri kiai Ali; Hj. Nafisah dan Hj. Ida Rufaida juga menantu Hj. Lutfiyah Jirjis. Sedang KH. Nawawi Abd Aziz yang telah memimpin pesantren An-Nur, Ngrukem, Bantul dan KH. Mufid Mas’ud yang juga memimpin pesantren Sunan Pandanaran, Ngaglik, Sleman juga mengkonsentrasikan diri untuk mengajar Al-Qur’an.
Sepeninggal KH. Ali Maksum, pesantren Krapyak mengalami perkembangan luar biasa, (hingga tulisan ini dibuat)  pesantren “Al-Munawwir” dipimpin oleh putera-putera KH. M. Moenawwir seperti KH. Zainal Abidin Munawir, KH. A. Warson Munawir, dan cucu-cucu KH. M. Moenawwir. Sedang aset pesantren yang merupakan pengembangan oleh KH. Ali Maksum dikelola dalam Yayasan Ali Maksum dengan sesepuhnya KH. Atabik Ali, dibantu para putra yang lain dan cucu dari KH. Ali Maksum.
Saat ini Krapyak telah menjadi kompleks perguruan Islam yang mendekati komplit sejak Taman Kanak-kanak, Madrasah Diniyah Awaliyah, Wustha dan Ulya, Madrasah Tsnawiyah dan Aliyah, SMP, program Takhassus dan Tahfidhul Qur’an, Ma’had Ali, Lembaga Kajian Islam Mahasiswa (LKIM), pengajian masyarakat tiap Jum’at Legi dan Sabtu Pon serta pengajian (mujahadah) Padang Jagat.


No comments:

Post a Comment